Bhisama Leluhur Tentang Kawitan
Bicara tentang Kawitan, berasal dari kata "Wit" artinya asal-usul. artinya bicara leluhur dari garis "Purusa", leluhur dari garis keturunannya yang terdekat dengan kehidupan sekarang.Mulai dari bapak/ibu, kakek/nenek dst ke atas. secara umum, garis purusa itu merupakan garis keturunan dari lelaki (bapak), tetapi bila posisi "nyentana", maka yang disebut purusa adalah pihak yang perempuan (ibu).
Secara Umum Kawitan terdekat dan yang mengawali hidup kita ini adalah Guru Rupaka (orang tua) dan yang paling utama dan terakhir adalah Hyang Kamimitan (Hyang Kemulan), beliau itu merupakan "guru rupakanya dari guru rupaka", merupakan "witing wit", asal muasal dari manusia yang lebih dikenal dengan sebutan Guru Swadyaya atau "Hyang Guru".
Sehingga bila ditanyakan "...kawitan...", tentu kita harus bertanya balik,
kawitan yang mana..?
sumber kawitan, atau kawitan - soroh/trah keturunan saat ini...?
bila diminta Sumber Kawitan, maka jawabannya Hyang Guru (Brahman - Tuhan), yang berstana di-"Sanggah Kemulan".
Tetapi bila ditanya kawitan saat ini atau trah/soroh, maka jawabnnya orang tua beserta keluarganya mulai dari kakek/nenek dan seterusnya.
Namun, bila diperhatikan, kawitan berdasarkan soroh/trah-pun mengacu ke "Sanggah Kemulan". kenapa begitu...?
Coba kita perhatikan contoh berikut ini...
Trah dalem Sri Haji Kresna Kepakisan, beliau mulai tinggal dibali dan membangun pamerajan di bali semenjak menjadi raja. maka dapat dikatakan beliaulan nga-Wit (memulai) hidup barunya di bali. sehingga seketurunannya seharusnya tunduk dalam "Satu Kawitan" yaitu keturunan Sri Kresna Kepakisan.
Namun apa yang terjadi...?
Keturunan beliau membuat kawitan-kawitan baru.
Keturunan Dalem Tarukan membentuk kawitan tersendiri, begitu juga keturunan Dalem Segening, dalem sukawati dll... padahal mereka satu garis purusa. Jadi bila diperhatikan dari contoh tersebut, yang disebut dengan Kawitan versi modern kekinian adalah pada saat Ngawit membangun rumah tangga, dimana anak cucunya masih mengakui lokasi rumah baru tersebut sebagai rumah tuanya, bukan rumah tua yang sebelumnya. dan bila disimpulkan dan ditarik benang merahnya, tetap saja yang disebut kawitan adalah Sanggah Kemulan dari rumah tua yang diakui.
Adapaun mantra umum yang digunakan untuk memuja kawitan;
"Ong Guru Dewa Guru Rupam Guru Madyam Guru Purwam Guru Pantaram dewam Guru Dewa Sudha nityam".
Oh tuhan dengan cahayamu sebagai Guru, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Mantra tersebut dilantunkan saat mapuja (sembahyang) di sanggah kemulan, tempat berstananya kawitan, yang merupakan asal muasal manusia yakni Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya
Bhisama leluhur (pesan betara kawitan) selalu mengarahkan keturunannya untuk ingat dengan sejarah, ingat dengan beliau, ingat dengan sesama, karena kita semua bersaudara, berawal dari Ida Betara Kawitan.
Berikut ini terjemahan kutipan bhisama kawitan:
" ... itulah hukumnya bagi orang-orang yang tidak tahu kawitan; bagi mereka yang demikian itu akan tertimpa kesusahan seperti:
- sabe asanak" (: berkelahi antar keluarga),
- tanpegat agering" (:sakit terus menerus tanpa sebab yang jelas),
- katemah dening bhuta kala dengen" (: diganggu pikiran yang tidak pernah tenang),
- surud kawibawaan" (: tidak punya wibawa/ kharisma),
- surud kawisesan" (: bodoh, malas dan kata-katanya tidak berarti),
- kelangenan tan genah" (: hidup boros sehingga menjadi miskin),
- sedina anangun yuda neng pomahan" (:tidak pernah rukun dengan anak-istri),
- rame ing gawe kirang pangan" (: banyak kerjaan tetapi hasilnya kurang/ tidak memadai) "
Sama seperti kita sekarang, bagaimana sakit hatinya jika anak kandung kita tidak mengakui kita sebagai ayahnya? atau tidak tahu bahwa kitalah ayahnya?
Tetaplah berbakti kepada Kawitan, tidak berarti lalu membangkitkan fanatisme soroh. Ingatlah kita satu darah, satu Kawitan, yaitu putra leluhur kita, Ida Betara Kawitan - Hyang Guru.