Arti Dan Makna Banten Pejati
Pejati berasal dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati = sungguh-sungguh, benar-benar.Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan.
Banten pejati merupakan banten pokok dalam Panca Yadnya. Banten Pejati merupakan Banten Piodalan Alit yang dihaturkan di Sanggah Kemulan. Banten Pejati merupakan bentuk utama dari Canang Sari.
Kepada Siapa Banten pejati ?
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu- Peras kepada Sanghyang Iswara
- Daksina kepada Sanghyang Brahma
- Ketupat kelanan kepada Sanghyang Wisnu
- Ajuman kepada Sanghyang Mahadewa
- Unsur-unsur banten pejati;
- Banten Daksina
Unsur-unsur banten Pejati :
1. Daksina
Daksina disebut Juga “YadnyaPatni” yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.2. Banten Peras
Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.Yang membentuk Penyeneng:
- Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala).
- Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini,
- Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
3. Tipat/Ketupat Kelanan
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.4. Soda/Ajuman
Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.5. Pasucian
Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.6. Segehan
Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).Banten pejati ini dihaturkan di bagian atas pelinggih, kemudian dibawahnya dihaturkan "Segehan Mancawarna"
Sarana yang Lain :
- Daun/Plawa; lambang kesejukan.
- Bunga; lambang cetusan perasaan
- Bija; lambang benih-benih kesucian.
- Air; lambang pawitra, amertha
- Api; lambang saksi dan pendetanya Yadnya.
Makna Banten Pejati
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.Makna Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Makna rerasmen:
“Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”
Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
Makna lauk:
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Makna buah-buahan;
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Makna Jajan Bali (jaje Gina)
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”.
Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai bahan porosan:
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”.
Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan
Tata cara dan Mantra
Mantram Menghaturkan Daksina BaruOm pekulun Hyang Wishnu alinggih aneng sesantun daksina guru dewa asung nugraha salweringpinuja dening ingsun, wastu purna jati tan mamiruda ring sarira ingsun om siddhirastu namah swaha…”.Bila ada banten sodan/ayunan/genten maka ditambah dengan mantram
“Om buktyantu sarvato devah buktyantu tri loka natah saganah saparivarah savarga sadasi dasah”,Selanjutnya banten diayab dengan mengucapkan mantram
“Om deva amukty sukham bhavantu purnam bhavantu sryam bhavantu namo namah swaha (kehadapan para bhatara). Om buktyantu pitara devam bukti mukty vara svadah ang ah (untk leluhur).”Bila ada banten peras dihaturkan dengan mantram
“om panca wara bhavet brahma vishnu sapta vare va ca sadvara isvara devas ca asta vara sivo jneyah lalu natab. Ato om kara mukoyate sarva pras pras parisudhaya nama swaha”Lalu ngayaban dan atau natab banten tersebut.
Sedangkan Banten peras harus di haturkan paling terakhir sebagai sahnya upacara yang berarti suksesnya persembahyangan yang telah dihaturkan dengan menyobek alas peras tersebut. Setelah itu di lanjutkan dengan sembahyang dan panca sembah.