Tradisi Omed-Omedan - Aspek Religi, Solidaritas Budaya Bali


Tradisi Omed-omedan masyarakat di lingkungan Banjar Kaja Sesetan sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda dan pelaksanaannya berproses hingga saat ini masih tetap berlanjut dijaga.

Dalam Pementasannya Tradisi Omed-omedan merupakan ajang masima krama dalam rangka menyambut tahun baru saka, setelah hari raya Nyepi yaitu yang disebut dengan Ngembak Geni.

Beranjak dari hal tersebut maka Tradisi Omed-omedan memiliki suatu fungsi-fungsi sebagai berikut yaitu mulai dari aspek religi, solidaritas, budaya, hingga aspek kesejahteraan masyarakat. Tradisi Omed-omedan merupakan Purwa Dresta yaitu kebiasaan-kebiasaan yang bersifat religius yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Tradisi ini bermakna sakral terkait dengan Ida Bhatara Sesuhunan yang berstana di Pura Pererepan Banjar Kaje, yang senantiasa dipentaskan oleh Sekaa Truna Truni dalam hubungannya dengan upacara omed-omedan.

Pelaksanaan upacara Omed-omedan merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun di Banjar Kaje. Sebelum dilaksanakannya prosesi upacara itu, terlebih dahulu para pemuda-pemudi Banjar biasanya selalu mengadakan persembahyangan bersama di Pura Banjar tersebut dengan berbagai macam upakara yang di pimpin oleh Jero Mangku guna memohon ijin kehadapan Tuhan agar pelaksanaan Omed-omedan berjalan dengan lancer tanpa hambatan-hambatan.

Menurut Kelihan Adat Banjar Kaja Sesetan, I Made Sukaja, sebelum pelaksanaan upacara Omed-omedan berlangsung, terlebih dahulu diadakan acara pembukaan dengan uraian singkat oleh Prajuru Banjar, Prajuru Banjar adalah orangorang yang berstatus sebagai pengurus Banjar yang terdiri atas Kelihan Banjar, Kelihan Dinas dan Ketua Sekaa Truna-Truni. 

Kedua Pejabat ini dimohonkan sebagai saksi dalam penyelenggaraan upacara Omed-omedan. Setelah berakhirnya rangkaian persembahyang dan dharma tula dari Kelian Banjar, maka pada tahap selanjutnya, Kelihan Banjar memulai dengan membariskan para peserta Omed-omedan. 

Di satu sisi berdiri kelompok remaja laki/pria dan disisi lain (berhadapan) berdiri kelompok remaja putri/wanita. Nasehat singkat dan ucapan selamat melaksanakan Omed-omedan dititipkan kepada para peserta dan diharapkan upacara dapat berlangsung lancar, aman, dan damai. 

Pengawasan upacara Omed omedan diserahkan kepada petugas khusus sesuai dengan hasil rapat panitia. Setiap kelompok ditentukan jumlah anggotanya, untuk kelompok laki/pria berjumlah 40 orang, sedangkan kelompok perumpuan/wanita berjumlah 60 orang, perbedaan ini dimaksudkan agar kekuatan kedua kelompok menjadi seimbang. 

Untuk beberapa peserta yang belum mendapatkan bagian pada fase pertama dijadikan cadangan untuk masuk pada kelompok fase berikut dan demikian seterusnya, sehingga akhirnya semua anggota truna-truni yang hadir mendapat giliran masuk kelompok secara bergantian. 

Didalam permaianan pada tradisi tersebut, tiap-tiap fase ada kepala kelompoknya yaitu seseorang ditempatkan pada posisi paling depan, sedangkan anggota yang lain ada di belakangnya saling memegang/memeluk pinggang teman di depannya berbaris. 

Dengan demikian ada kepala kelompok untuk wanita/putri pada satu sisi dan ada kepala kelompok laki/putra-nya pada sisi lawannya.Jikalau tanda permainan akan dimulai, kedua kelompok mulai saling berpegangan tangan yang diikuti pula oleh kelompoknya masing-masing. 

Pada saat upacara omed-omedan dimulai, petugas/ pecalang telah membagi diri menjadi tiga sub kelompok yaitu 
  1. sebagai petugas khusus, yang memberi tanda mulai dan berhentinya permainan,
  2. sebagai petugas ketertiban yaitu mencegah permainan yang tidak disiplin termasuk penonton yang nakal, dan 
  3. penyiram air pertanda permainan fase awal berakhir. 

Didalam proses permaian itu, tiap kepala kelompok berusaha menarik tangan lawannya ke-arah mereka masing-masing dengan dibantu oleh anggota kelompok lain yang memegang pinggang dari arah belakang dan terus menariknya kearah belakang sampai lawannya menyentuh/menginjak garis yang ditentukan petugas dan kelompok yang bersangkutan dinyatakan kalah. 

Kelompok yang dinyatakan kalah, harus menyerahkan kepala kelompoknya itu kepada kelompok yang menang. Yang diserahkan ini dinamakan sebagai pacundang.

Pada tahap kedua, pacundang fase satu dijadikan jarahan kelompok yang menang pada fase pertama dan ditempatkan pada posisi satu atau kepala kelompok pada bekas lawannya pada fase satu. 

Pada fase kedua ini, jika ia menang berhadapan dengan bekas kawannya pada fase satu, maka pacundang ini mendapat tambahan pacundang lagi dari bekas kawannya lagi dan seterusnya. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yaitu pada fase kedua ini ia kalah, maka pacundang ini kembali ke bekas kawannya seperti pada fase satu (seperti tahap awal tadi) dan demikian seterusnya. 

Selain sebagai pemegang aba-aba mulainya Omed-omedan, pecalang yang lain bertugas memisahkan pemain yang sedang bergulat berhadapan dengan lawannya untuk menghentikan suatu fase. 

Setiap siraman air oleh pecalang, peserta harus berhenti menarik lawan bermainnya. Siraman ini sebagai tanda penghentian fase. 

Sesuai kesepakatan panitia dengan peserta upacara (anggota truna-truni), Omed-omedan akan berakhir jika peserta sudah mulai kelihatan letih, dan hari sudah menjelang sore, maka disanalah petugas akan menghentikan permainan upacara tersebut. 

Hubungan Tradisi Omed-omedan dengan hari Raya Nyepi 

Menurut Kelihan Adat Banjar Kaje Sesetan, I Made Sukaja, tiada lain yaitu sebagai ajang masima krama dimana pada hari raya nyepi yang sering disebut dengan tahun baru caka anggota Banjar Kaje termasuk angota Truna-Truni diharapkan meningkatkan rasa persaudara (menyama braya) dikalangan seluruh warga anggota Banjar Kaje tersebut. 

Senada dengan pernyataan diatas, I Made Munggah sebagai Tokoh masyarakat, adapun menurut beliau upacara Omed-omedan merupakan Tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh warga Banjar Kaje Sesetan ini, disamping itu pula beliau menjelaskan bahwa tradisi ini disamping sebagai ajang masima krama, didalamnya termasuk memilliki nilai religius terkait Ida Betara Sesuhunan yang berstana di Pura Banjar Kaje. 

Tradisi Omed omedan memiliki hubungan yang erat dengan rangkaian hari raya Nyepi karena didalam pelaksanaannya diharapkan dapat meningkatkan rasa persaudaraan diantara warga Banjar Kaja, sebagai ajang masima krama. 

Warga masyarakat pada umumnya selalu memberi makna kepada segala sesuatu yang ada didalam lingkungannya. Kecendrungn memberi makna itu merupakan aktifitas kolektif oleh seklompok masyarakat sesuai hal-hal yang dihadapinya. 

Menurut Ginddens, mengabstraksikan hasil pikiran kelompok masyarakat dan selanjutnya hasil itu berupa konsep, dan konsep tersebut kemudian menata kehidupan masyarakat yang bersangkutan sebagai nilai budaya. Selanjutnya nilai budaya merupakan abtraksi dari segala sesuatu yang dianggap bermakna tinggi dalam kehidupan suatu masyarakat. 

Kearifan lokal yang terefleksikan dalam suatu upacara omed-omedan merupakan wujud dan abstraksi pikiran warga setempat sebagai suatu hal yang dianggap bermakna. Adapun menurut Kelihan Adat Banjar Kaje, I Made Sukaja, implikasi makna dari tradisi Omed-omedan bagi masyarakat Banjar Kaje Kelurahan Sesetan Denpasar yaitu terbagi atas beberapa aspek yaitu : 

1. Religi 

Kearifan lokal yang tertuang dalam upacara Tradisi Medmedan pada hakikatnya merupakan salah satu perwujudan aktivitas keagamaan dan emosi keagamaan yang dibangkitkan dengan adanya sesuhunan Ida Bhatara Petapakan yaitu Ida Ratu Ayu Mas Calonarang dan Ratu Gede Bangkal Putih di Pura Parerepan Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan. 

Pura itu diyakini merupakan bangunan suci yang sakral bagi pemeluk Hindu di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan. Dalam konsep agama Hindu, berdoa atau sembahyang di tempat sakral seperti itu akan mendapatkan anygrah Ida Sanghyang Widhi 

2. Solidaritas 

Dari segi makna solidaritas dapat dilihat yaitu masyarakat gotong royong yang menjunjung tinggi aspek kebersamaan dalam suka-duka yang sangat intens. Hampir semua tugas kemasyarakatan diselesaikan secara bersama sama, baik aktifitas sosial, ekonomi, maupun keagamaan. 

Demikian juga dalam upacara Tradisi Omed-medan semua warga banjar bergotong royong bekerja menyiapkan segala sesuatu dengan pemahaman yang sama, bahwa upacara itu untuk kepentingan seluruh warga banjar kaje. 

Dengan itu maka timbul kebersamaan dan warga selalu berusaha dalam kegiatan upacara tersebut untuk selalu memupuk kerukunan dan mewujudkan integrasi sosial secara nyata. 

3. Budaya

Makna budaya bermatra budaya lokal Bali. Berbicara tentang budaya Bali asosiasi masyarakat Bali adalah filsafah Tri Hita Karana yang bernafaskan agama Hindu sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali dan sekaligus menjiwai kebudayaan Bali. 

Di Bali, identitas budaya hampir selalu berhubungan dengan agama, sehingga makna budaya di sini tumpang tindih dengan makna agama. Masyarakat warga Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan telah memahami, menghayati, dan menjalankan budaya leluhur, yaitu peka terhadap saudara atau tetangganya yang tersirat dalam istilah sagilik saguluk sabayantaka

4. Kesejahteraan

Pemahaman “makna kesejahteraan” hampir sama artinya dengan sentosa dan makmur, selamat/terlepas dari segala macam gangguan. 

Secara keseluruhan masyarakat warga Banjar Kaja, sampai saat ini mempercayai kesejahtraan yang mereka dapatkan tidak terlepas dari apa yang dilakukan warga yaitu berbakti terhadap Ida Bhatara Sesuhunan yang berstana di pura Parerepan dengan melaksanakan upacara omedomedan.