Tantra Yogi, Jalan Menuju Pencerahan

Perjalanan para Yogi masa lampau adalah jalan kesendirian yang mencari ketiadaan (śūnya), bukan layaknya kehidupan keagamaan sekarang yang demikian “ramai” dengan simbol, namun kering dengan makna.

Yoga adalah perjalanan “ke dalam”, dan Tantra adalah laku yang menggunakan seluruh elemen diri sebagai sarana utama. Fisik, mental, energi dan berbagai elemen dalam diri dieksplorasi sedemikian rupa, dikembangkan potensinya. Sebuah perspektif mengatakan, kata Tantra sendiri konon berakar dari kata tan yang berarti ekspansi, ekspansi kesadaran dan potensi diri. Perjalanan ini adalah perjalanan sunyi yang dilalui sendiri, sebab tidak ada yang bisa menemani kita berjalanan menembus belantara diri. Lalu, jika yang dicari adalah Ketiadaan dan Kekosongan yang menjadi Inti seluruh keberadaan, maka perjalanannya adalah perjalanan “menelanjangi” bukan “mengisi”. Segala kepemilikian dihilangkan, mulai dari yang berupa materi sampai berbagai konsep dan keyakinan personal dilepaskan. Bisa kita amati, dulu perjalanannya menelanjangi dan melepaskan, sekarang perjalanannya adalah “mengisi”; mengisi diri dengan berbagai atribut keagamaan, dengan berbagai konsep dan keyakinan yang bukannya mempermudah malah membebani kehidupan.
Di sini kita bisa lihat, beda arah perjalanan, beda tujuan maka beda pula pengalaman berjalan yang dirasakan.

Lalu, hal penting yang menjadi pembeda seorang Tantra Yogi dengan yang lain adalah, mereka memiliki barometer pengalaman dan pencapaian. Dunia spiritual, dunia mistik dan dunia religius bisa jadi sangat menyesatkan; rentan dengan berbagai delusi, rentan dengan berbagai jebakan mengawang-awang. Hapal dengan tiga puluh tiga juta dewa penghuni surga, namun tetangga sebelahnya sendiri tidak dikenali.

Seorang Tantra Yogi tidak serta merta meyakini sebuah konsep verbal dan tertulis turun temurun (agamapramana), atau berbagai hasil penalaran dan pertimbangan serasional apa pun (anumanapramana), namun mereka juga mengujinya lewat pengalaman personal (pratyaksapramana). Mereka tidak akan sembarangan merasa diri sudah “sampai” atau sudah tercerahkan, karena setiap pencapaian memiliki barometernya sendiri, biasa disebut dengan siddhi sebagaimana disampaikan dalam Wrahaspati Tattwa. Barometer pencapaian ini lah yang menjaga mereka agar tidak mengawang-awang dan mengira-ngira.

Masyarakat kita sekarang sepertinya sangat gemar berkitab, apa-apa harus ada landasan kitabnya, lebih spesifiknya lagi landasannya dalam Weda. Lalu, sebuah sloka akan didebatkan panjang lebar sesuai dengan “isin basang” sendiri-sendiri. Mau sampai kapan debat? Apa barometer kebenaran analisa kitab tersebut, selain keyakinan personal terhadap ajaran yang diturunkan (agamapramana)? Kenapa tidak mencoba mengalami sendiri apa yang dituliskan?
Toh, yang didebatkan biasanya adalah kebenaran yang melampaui pikiran (Tuhan?); bagaimana sesuatu yang melampaui pikiran didebatkan dengan batasan pemikiran sendiri? Ketuhanan para Yogi tidak terletak di tataran konsep dan melampaui benarr-salah, sehingga tidak ada gunanya didebatkan, sebab ia adalah pengalaman, sebuah kondisi kesadaran.
Tentu, konsekwensi kita menyebut diri sebagai Hindu adalah mengakarnya identitas ke-Hindu-an dalam diri; namun ada baiknya kita menengok ke masa lalu, benarkah Hindu yang dianut dulu (jikapun disebut Hindu) sama dengan cara masyarakat kini ber-Hindu?